Imam asy-Syafi’i rahimahullah disebutkan
oleh para ulama lainnya sebagai di antara orang yang paling kuat berpegang
dengan sunnah. Bahkan dikatakan oleh imam Ahmad bin Hanbal sebagai “Nashiirus
Sunnah” (pembela sunnah). Imam Ahmad rahimahullah (Wafat 241 H) juga mengatakan
: “Di antara sikap terpuji imam asy-Syafi’i adalah apabila beliau mendengar
sebuah hadits (yang shahih) yang belum pernah beliau dengar, maka beliau akan
mengambil hadits tersebut dan meninggalkan pendapatnya (yang bertentangan).”
(al-Baihaqi, Manaaqib asy-Syafi’i, 1/476 – Maktabah Daar at-Turaats)
Kata beliau lagi : “Aku tidak pernah
melihat orang yang lebih mengikuti sunnah berbanding imam asy-Syafi’i
rahimahullah.” (Manaaqib asy-Syafi’i, 1/471)
Imam asy-Syafi’i rahimahullah sendiri
pernah berpesan dengan katanya : “Tidak ada seorang pun melainkan ia wajib
bermadzhab dengan sunnah Rasulullah dan mengikutinya. Apa jua yang aku ucapkan
atau tetapkan tentang sesuatu perkara (ushul), sedangkan ucapanku itu
bertentangan dengan sunnah Rasulullah, maka yang diambil adalah sabda
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Dan demikianlah ucapanku (dengan
mengikuti sabda Rasulullah).” (Disebutkan oleh Ibnul Qayyim dalam I’lam
al-Muwaqq’in, 2/286)
Kata imam asy-Syafi’i lagi : “Kaum
muslimin bersepakat bahwa mereka yang mengetahui dengan jelas suatu sunnah
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam maka tidak halal baginya meninggalkan
sunnah tersebut semata-mata untuk mengikuti pendapat seseorang yang lain.” (Ibnu
al-Qayyim, I’lam al-Muwaqq’in, 2/282)
Imam an-Nawawi rahimahullah (Wafat 676 H)
turut mengutarakan pesan-pesan imam asy-Syafi’i yang semakna dengannya,
antaranya : Imam asy-Syafi’i berkata : “Apabila kamu mendapati dalam kitabku
sesuatu yang bertentangan dengan sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
Sallam, maka ambillah sunnah Rasulullah tersebut dan tinggalkanlah
perkataanku.”
Kemudian imam an-Nawawi mengeluarkan
contoh sikap para ulama dari kalangan ulama madzhab asy-Syafi’i seperti
al-Buwaithi, Abu al-Qasim ad-Dariqi, Abu Bakar al-Baihaqi, dan selainnya ketika
berhadapan dengan pendapat dalam madzhab asy-Syafi’i yang bertentangan dengan
suatu hadits, maka mereka akan mengamalkan hadits dan meninggalkan pendapat
madzhab asy-Syafi’i yang bertentangan dengan hadits tersebut. Imam an-Nawawi
kemudian menjelaskan :
“Sebahagian sahabat kami yang terdahulu
ketika melihat suatu permasalahan yang di dalamnya terdapat hadits sedangkan ia
bertentangan dengan pendapat dalam madzhab asy-Syafi’i, maka mereka pun mengamalkan
hadits tersebut (dengan meninggalkan pendapat madzhab). Mereka memberikan fatwa
berdasarkan hadits tersebut sambil berkata, “Madzhab asy-Syafi’i bersesuaian
dengan hadits tersebut.” (al-Majmu’ Syarah al-Muhadzdzab, 1/63-64)
Inilah contoh sikap yang mulia yang
bersesuaian dengan pesanan imam asy-Syafi’i sendiri agar mengikuti sunnah
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam berbanding pendapat sendiri dan
pendapat-pendapat manusia lainnya bersesuaian dengan kadar ilmu yang dikuasai.
Perkara ini juga turut dipertegaskan lagi oleh para ulama dan imam-imam
lainnya.
Antaranya sebagaimana kata al-Hafizh Ibnu
Rejab al-Hanbali rahimahullah (Wafat 795 H) : “Kewajiban bagi mereka yang
menerima dan mengetahui perintah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam
adalah dengan menyampaikan kepada masyarakat, menasihati mereka, dan mengajak
mereka untuk mengikutinya walaupun ia bertentangan dengan pendapat orang ramai.
Perintah Rasulullah lebih berhak untuk dimuliakan dan diikuti berbanding
pendapat mana-mana tokoh sekalipun yang menyalahi perintahnya yang terkadang
pendapat mereka itu terdedah kepada kesalahan.
Oleh kerana itulah para sahabat dan para
tabi’in selalu menolak pendapat yang menyalahi hadits yang sahih dengan
penolakan yang tegas yang mereka lakukan bukan karena kebencian sebaliknya
adalah karena rasa hormat mereka terhadap Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
Sallam jauh lebih tinggi mengatasi kedudukan manusia-manusia lainnya dan
kedudukan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam jauh di atas makhluk lainnya.
Apabila perintah Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa Sallam ternyata bertentangan dengan perintah yang lain, perintah
beliau adalah lebih utama didahulukan dan diikuti sekalipun orang tersebut
mendapat ampunan dari Allah. Bahkan orang yang mendapat pengampunan dari Allah
tersebut apabila ia tahu pendapatnya menyalahi perintah Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa Sallam, maka ia pun tidak merasa benci apabila seseorang
meninggalkan pendapatnya yang berlawanan dengan ketentuan Rasulullah tersebut.”
(Dinukil dari Ashlu Shifati Sholaatin Nabiy karya al-Albani, 1/33-34)
Berkaitan dengan ini, Salim bin ‘Abdullah
bin ‘Umar pernah menceritakan bahwa beliau telah mendengar seorang lelaki dari
Syam datang bertanya kepada ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhu tentang umrah
dalam haji tamattu’. ‘Abdullah bin ‘Umar menjawab : “ia halal (dibolehkan).”
Orang Syam tersebut berkata : “Tetapi
bukankah ayahmu (‘Umar al-Khaththab) telah melarangnya?”. ‘Abdullah bin ‘Umar
bertanya : “Apa pendapatmu jika ayahku melarangnya sedangkan Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa Sallam melakukannya, jadi mana yang akan kamu ikuti?
Perintah ayahku atau perintah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam?”.
Lelaki tersebut pun menjawab : “Ya, perintah Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wasallam.” Maka Ibnu ‘Umar berkata : “Sungguh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
Sallam telah melakukannya.” (Hadis Riwayat at-Tirmidzi, 3/333, no. 753)
Jadi, pendapat para imam madzhab pun boleh
ditinggalkan sekiranya bertentangan dengan sunnah, apatah lagi pendapat-pendapat
yang tidak diketahui asal-usulnya yang keluar bukan dari kalangan para imam
seperti kisah-kisah dusta atas nama agama dan bid’ah-bid’ah yang leluasa di
Nusantara ini?
Seharusnya kita dalami baik-baik
pesan-pesan imam madzhab kita, imam asy-Syafi’i rahimahullah tersebut. Bahkan
imam-imam madzhab seluruhnya termasuk Abu Hanifah, Malik, dan Ahmad bin Hanbal
juga turut berpesan dengan pesanan yang sama seperti asy-Syafi’i.
Mereka semua mewajibkan para pengikutnya
supaya meninggalkan pendapat-pendapat mereka apabila pendapat tersebut
bertentangan dengan hadis Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Bahkan imam
asy-Syafi’i meninggalkan pesan supaya mengatasnamakan dirinya bagi setiap
hadits yang sahih sebagai termasuk dalam pendapat atau madzhabnya walaupun beliau
tidak menemui mahupun meriwayatkannya. Manakala pendapatnya yang bertentangan
dengan sunnah, beliau minta agar ditinggalkan.
Kata beliau : “Apabila sahih sesuatu
hadits, maka itulah pendapatku (madzhabku).”
Oleh sebab itulah Imam Ibnu Daqiq al-‘Ied
rahimahullah menyusun sebuah kitab besar yang menghimpunkan pelbagai hadits
yang dikategorikan sebagai hadits-hadits yang bertentangan dengan
pendapat-pendapat para imam madzhab, lalu pada mukaddimahnya beliau mengatakan
: “Menyandarkan nama para imam mujtahid dengan pelbagai masalah yang
bertentangan dengan hadits sahih adalah haram!”
Ini bersesuaian dengan pesan-pesan wasiat
yang ditinggalkan oleh para imam itu sendiri antaranya imam asy-Syafi’i dengan
katanya : “Apabila shahih sesuatu hadits, maka itulah pendapatku (madzhabku).”
Yang membawa maksud setiap pendapat yang bertentangan dengan hadits bukanlah
termasuk pendapat beliau walaupun beliau mengucapkannya. Ini juga sebagaimana
kata beliau : “Apabila ada ucapanku atau ushul (kaedah) yang aku susun bertentangan
dengan apa yang datang dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, maka
ambillah ucapan yang datang dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, dan
itu menjadi ucapanku.” (al-Baihaqi, Manaaqib asy-Syafi’i, 1/475)
Pesan-pesan imam asy-Syafi’i yang semisal
dengan ini begitu banyak diriwayatkan dan disebutkan dalam lembaran-lembaran
kitab para ulama. Ini menunjukkan betapa tegasnya prinsip dan pegangan imam
asy-Syafi’i terhadap hadits-hadits Nabi sekaligus dalam mengajak masyarakat
untuk berpegang dan bermadzhab dengan sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
Sallam. Bahkan turut dinukil yang mana beliau mengatakan : “Sekiranya aku
meriwayatkan satu hadits dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam lalu aku
tidak mengambilnya, maka nyatakanlah bahawa akalku telah rusak.” (al-Baihaqi,
Manaaqib asy-Syafi’i, 1/474)
Di tempat yang lain turut diriwayatkan
bahawa beliau telah berkata : “Setiap perkataanku yang berbeda dengan riwayat
yang shahih daripada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, maka hadits Nabi lebih
aula (perlu didahulukan) dan kamu semua jangan bertaklid kepadaku.”
(al-Baihaqi, Ma’rifah as-Sunan wal Atsar, 2/454)
Demikianlah begitu tegasnya beliau dalam
berpegang dengan hadits-hadits yang diterimanya. Ini sepatutnya menjadi contoh
dan motivasi buat kita semua dalam mempelajari, mengamalkan, dan mendakwahkan
sunnah-sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam yang mulia.
Prinsip-prinsip dan wasiat-wasiat yang
ditinggalkan oleh imam asy-Syafi’i ini amat bertepatan dengan begitu banyak
dalil-dalil al-Qur’an mahupun as-Sunnah. Antaranya sebagaimana firman Allah
Subhanahu wa Ta’ala : “Demi Tuhanmu, mereka tidak dikatakan beriman sehingga mereka menjadikan
engkau (Muhammad) sebagai hakim dalam menyelesaikan perselisihan di antara
mereka. Kemudian mereka tidak merasa berat dengan keputusan yang engkau
tetapkan dan mereka menerimanya dengan penuh ketulusan.” (Qs. an-Nisaa’ : 65)
Ayat ini begitu jelas menerangkan apabila
berlaku perselisihan (khilaf) di antara kita, maka hendaklah ia dikembalikan
kepada al-Qur’an dan as-Sunnah. Bukan dikembalikan kepada madzhab si fulan atau
imam fulan mahupun ustadz fulan. Wallahu a’lam.